Home / News / Tujuan Sama, Cara Berbeda: Konflik Zuriat di Balik Warisan dan Garis Keturunan

Tujuan Sama, Cara Berbeda: Konflik Zuriat di Balik Warisan dan Garis Keturunan

Oleh: Masdjo Arifin (Pemimpin Redaksi Budayantara.tv)

Jakarta – Budayantara.tv.Di balik ikatan darah yang seharusnya menjadi sumber kekuatan, kerap terselip bara api konflik yang tak kunjung padam. Konflik antarketurunan atau zuriat menjadi fenomena sosial yang kian sering mencuat di berbagai daerah di Indonesia. Meski memiliki tujuan serupa menjaga marwah, melestarikan warisan, dan mempertahankan garis keturunan cara yang ditempuh justru berujung pada perpecahan.

Perselisihan ini tak jarang dipicu oleh perebutan kekuasaan, status sosial, hingga aset warisan yang nilainya tak hanya material, tetapi juga simbolik.

Satu pohon bisa punya banyak cabang, tapi tetap berakar dari tanah yang sama. Ironisnya, justru cabang-cabang itulah yang sering bertikai.

Penyebab Mendasar: Dari Warisan Hingga Klaim Nasab

Beberapa akar konflik yang sering ditemukan antara lain:

Perebutan kekuasaan dan sumber daya, seperti posisi pimpinan adat, tokoh trah, atau bahkan kepala keluarga besar yang menjadi simbol kehormatan.

Perbedaan nilai dan pandangan, terutama antara generasi tua dan muda, yang menilai tradisi dari perspektif berbeda.

Sengketa warisan dan aset, di mana harta pusaka dianggap milik bersama namun diklaim sepihak oleh keturunan tertentu.

Klaim nasab yang diperdebatkan, di mana keabsahan garis keturunan menjadi titik panas, terutama dalam keluarga besar yang memiliki banyak cabang atau klan.

Konflik antarklan atau marga, yang meski memiliki leluhur sama, terpecah karena kepentingan pribadi dan perbedaan tujuan.

Fenomena ini tak hanya berdampak pada internal keluarga, tapi bisa meluas ke ranah sosial dan hukum, bahkan merusak reputasi leluhur yang selama ini dijunjung tinggi.

Penyelesaian: Kembali ke Akar, Bukan Membakar Ranting

Untuk meredam konflik, diperlukan pendekatan holistik yang tidak hanya legalistik, tetapi juga kultural dan spiritual:

Mediasi dan negosiasi, sebagai cara damai yang menjembatani perbedaan dengan kepala dingin.

Campur tangan tokoh adat, pemerintah, atau pengadilan, jika konflik tak lagi bisa diselesaikan secara internal.

Sosialisasi dan edukasi, terutama kepada generasi muda, untuk memahami sejarah keluarganya tanpa terjebak dalam romantisme atau ambisi pribadi.

Seringkali yang diperebutkan adalah nama besar, namun lupa akan nilai besar yang ditinggalkan leluhur.

Konflik zuriat sejatinya bisa dihindari jika setiap pihak mengedepankan prinsip musyawarah, saling asah, asih, dan asuh. Warisan leluhur bukan hanya tentang tanah dan nama, tapi tentang menjaga harmoni dan menjunjung nilai kebersamaan yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.(Red)

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *