Home / News / RM Sosrokartono: Sarjana Pertama Nusantara, Kakak Kartini yang Menginspirasi

RM Sosrokartono: Sarjana Pertama Nusantara, Kakak Kartini yang Menginspirasi

Jakarta,- Budayantara.tv Di balik nama besar Raden Ajeng Kartini yang selama ini dikenal sebagai pelopor emansipasi perempuan Indonesia, terdapat sosok pria cerdas, sederhana, dan penuh dedikasi bernama Raden Mas Panji Sosrokartono. Ia bukan hanya kakak kandung Kartini, tetapi juga sarjana pertama dari kalangan pribumi Indonesia, sekaligus pelita awal pendidikan tinggi bagi anak-anak bumiputera pada masa penjajahan.

Dari Jepara ke Negeri Belanda

Lahir di Jepara pada tahun 1877, RM Sosrokartono tumbuh dalam lingkungan keluarga bangsawan Jawa yang mementingkan pendidikan. Sebagai anak seorang bupati, Kartono begitu ia akrab disapa mendapat akses pendidikan yang kala itu sangat langka bagi masyarakat pribumi. Ia mengenyam pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS) di Jepara dan kemudian melanjutkan ke Hogere Burger School (HBS) di Semarang.

Tahun 1897 menjadi titik balik penting dalam hidupnya. Melalui program Politik Etis atau dikenal juga sebagai Politik Balas Budi dari pemerintah Hindia Belanda, Kartono terpilih untuk melanjutkan studi ke Belanda sebuah kesempatan langka yang hanya diberikan kepada segelintir orang dari kalangan priayi.

Menemukan Jalan Hidup Lewat Bahasa dan Sastra

Awalnya, Kartono menempuh studi di bidang teknik sipil di Polytechnische School Delft. Namun, nuraninya membawanya untuk beralih ke jalur yang lebih ia cintai Bahasa dan Kesusastraan Timur di Universitas Leiden. Di sanalah ia menempa dirinya dalam dunia ilmu pengetahuan dan filsafat, hingga akhirnya berhasil meraih gelar sarjana muda pada tahun 1901 menjadikannya orang Indonesia pertama yang menyandang gelar akademis dari universitas di Eropa.

Namun perjalanan pendidikannya tak mudah. Ia harus menghadapi kesulitan finansial, diskriminasi rasial, serta tantangan akademik yang luar biasa. Tapi ketekunan dan semangat pantang menyerah membuat Kartono tidak hanya menyelesaikan studinya, tapi juga dikenal sebagai mahasiswa cemerlang dan menguasai lebih dari 17 bahasa asing.

Bukan Hanya Sarjana, Tapi Pelopor dan Inspirasi

RM Sosrokartono bukan hanya seorang akademisi. Ia adalah jembatan peradaban antara Timur dan Barat, antara penjajah dan pribumi, antara tradisi dan modernitas. Setelah menyelesaikan pendidikannya, ia pernah menjadi penerjemah untuk Liga Bangsa-Bangsa (cikal bakal PBB) dan wartawan perang untuk surat kabar ternama Belanda. Namun yang paling mengagumkan, ia memilih untuk kembali ke tanah air dan menjalani kehidupan sederhana sebagai tabib dan guru spiritual di Bandung.

Hubungan emosional dan intelektualnya dengan sang adik, Kartini, pun menjadi catatan tersendiri dalam sejarah bangsa. Sosrokartono adalah satu-satunya anggota keluarga yang sejak awal memahami dan mendukung cita-cita emansipasi yang diperjuangkan Kartini. Ia tak hanya menjadi kakak, tapi juga mentor yang membuka cakrawala pemikiran sang adik lewat surat-surat penuh pemahaman dan kasih sayang.

Makna Hari Sarjana Nasional: Lebih dari Sekadar Seremoni

Di tengah peringatan Hari Sarjana Nasional, kisah RM Sosrokartono seakan menjadi pengingat yang kuat bahwa gelar bukan sekadar simbol. Lebih dari itu, gelar sarjana adalah tanggung jawab moral dan sosial untuk kembali kepada masyarakat, membagi ilmu, serta berkontribusi bagi kemajuan bangsa.

Hari ini, ketika pendidikan tinggi sudah jauh lebih mudah diakses, semangat perjuangan dan pengorbanan seperti yang ditunjukkan oleh Sosrokartono harus tetap menjadi inspirasi. Bahwa menjadi sarjana bukanlah akhir, melainkan awal dari pengabdian.

RM Sosrokartono adalah potret sempurna dari intelektual yang rendah hati. Ia mengukir sejarah sebagai sarjana bumiputera pertama, tetapi lebih dari itu, ia adalah simbol dari cita-cita besar: bahwa ilmu bukan untuk kemewahan pribadi, melainkan untuk menerangi jalan orang banyak.

Semoga kisah hidupnya terus menyala dalam jiwa para pembelajar muda Indonesia, dan menjadikan Hari Sarjana Nasional sebagai momen untuk tidak hanya merayakan capaian akademis, tapi juga merenungi makna sejati dari ilmu dan pengabdian.**

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *