Home / Program / Menyusuri Jejak Budaya di Gunung Sari : Dari Curug Seribu ke Sumur Tujuh, Meresapi Napas Sejarah Nusantara

Menyusuri Jejak Budaya di Gunung Sari : Dari Curug Seribu ke Sumur Tujuh, Meresapi Napas Sejarah Nusantara

Bogor, – Budayantara.tv  Di tengah rimbunnya hutan pegunungan dan sejuknya kabut yang menyelimuti kaki Gunung Salak, tim Budayantara.tv bersama Lembaga Pemangku Adat Jayakarta memulai sebuah perjalanan yang bukan sekadar wisata alam melainkan ziarah budaya yang penuh makna. Dipimpin oleh Pangeran Abi, tokoh adat yang dikenal akan dedikasinya dalam pelestarian budaya Betawi dan sejarah Nusantara, touring budaya kali ini menyusuri jejak-jejak spiritual dan historis di kawasan Gunung Sari,Bogor.

Awal Perjalanan: Menyulam Jejak dari Mampang ke Tenjolaya

Jumat siang, 19 September 2025, pukul 13.00, bertolak dari Mampang, Jakarta Selatan. Dua jam perjalanan membawa kami tiba di kediaman Raden Sanjaya, seorang tokoh budaya lokal yang dikenal gigih merawat sejarah Tenjolaya, Bogor. Malam itu, kami tidak hanya berteduh dari dinginnya udara pegunungan, tetapi juga larut dalam diskusi hangat seputar sejarah kerajaan-kerajaan kuno, peran spiritualitas dalam masyarakat Sunda, hingga urgensi pelestarian warisan leluhur.

“Budaya bukan sekadar warisan, tapi juga arah. Jika tak dijaga, kita bisa kehilangan kompas sebagai bangsa,” ujar Raden Sanjaya dalam salah satu sesi diskusi malam itu.

Menapaki Alam Suci: Sumur Tujuh dan Kisah Kian Santang

Esok paginya, Sabtu 20 September, perjalanan berlanjut menuju destinasi utama: Sumur Tujuh, sebuah kawasan yang dipercaya masyarakat sebagai situs sakral peninggalan Wali Allah Prabu Kian Santang, putra Prabu Siliwangi. Dengan jarak tempuh sekitar satu setengah jam dari penginapan, kami menyusuri jalanan berliku yang diteduhi pepohonan tinggi seakan membawa kami ke lorong waktu, menembus lapisan sejarah Sunda yang terlupakan.

Di kawasan itu, suara gemericik air pancuran dan aroma tanah basah menyambut kami. Sumur-sumur yang dipercaya menyimpan berkah spiritual menjadi magnet bagi para peziarah dan wisatawan. Tak jauh dari lokasi, terdengar suara canda tawa peserta kemah Pramuka yang tengah menjalani latihan kepemimpinan, berdampingan dengan keberadaan aparat TNI yang di kawasan tetap aman.

Di sela kegiatan, kami bertemu Icen, seorang pengunjung dari Dadap, Tangerang. “Tempat ini bukan hanya indah, tapi juga damai. Ada rasa teduh yang nggak bisa dijelaskan,” ujarnya dengan mata berbinar, sambil menunjuk ke arah salah satu pancuran yang mengalir dari celah bebatuan.

Curug Seribu dan Kawah Ratu: Pesona Alam yang Membungkus Sejarah

Tak lengkap rasanya menjelajah Gunung Bunder tanpa menyambangi Curug Seribu air terjun megah dengan ketinggian hampir 100 meter yang gemuruhnya menggema di antara tebing-tebing tinggi. Perjalanan menuju lokasi membutuhkan tenaga ekstra, tetapi semua lelah terbayar lunas saat air jernih menyentuh kulit, membawa serta aroma tanah dan dedaunan yang menenangkan.

Sementara itu, Kawah Ratu, yang terletak tak jauh dari kawasan Pamijahan, menawarkan keajaiban geologi dan spiritualitas sekaligus. Asap putih yang mengepul dari kawah aktif ini sering dihubungkan dengan legenda Wali Allah yang bertapa di sana. Bagi sebagian orang, ini bukan sekadar kawah vulkanik, melainkan saksi bisu dari pergulatan batin dan misi penyebaran Islam oleh tokoh-tokoh besar Nusantara.

Warisan dan Harapan: Catatan dari Pangeran Abi

Kegiatan ini ditutup dengan pernyataan menyentuh dari Pangeran Abi, yang menegaskan pentingnya sinergi antara wisata, budaya, dan spiritualitas.

“Sumur Tujuh dan kawasan sekitarnya adalah bagian dari mozaik sejarah Nusantara yang tak boleh hilang. Ini bukan hanya milik masyarakat Bogor atau Jawa Barat, tapi warisan kita bersama,” ucapnya.

Ia juga menekankan bahwa destinasi-destinasi ini yang digagas pengembangannya oleh Raden Sanjaya bisa menjadi pusat edukasi budaya dan religi bagi generasi muda. Tak sekadar menjadi tempat selfie atau pelarian dari hiruk-pikuk kota, melainkan ruang kontemplasi untuk mengenal jati diri bangsa.

Perjalanan ini bukan sekadar touring biasa. Ia adalah lorong waktu menuju akar, menyusuri sungai memori yang mengalir di bawah kaki Gunung Salak. Di tiap mata air, di tiap batu yang dipijak, ada cerita yang menunggu untuk didengar kisah tentang leluhur, keyakinan, dan harapan yang masih menyala.**

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *