Kota Bekasi, – Di tengah dunia jurnalistik yang kerap kali disibukkan dengan kecepatan informasi dan kompetisi pemberitaan, sekelompok wartawan di Kota Bekasi menunjukkan bahwa profesi mereka bukan hanya soal mengetik berita atau mengejar headline. Mereka sedang membangun sesuatu yang lebih dalam: jurnalisme empati.
Pada Jumat pagi yang cerah, halaman sederhana di Warung Kopi dan Mie Instan Gratis Sanggar Humaniora di Perumahan Kranggan Permai, Jatisampurna, tampak ramai. Di sana, Tim Program Jumat Berkah Wartawan (PJBW) membagikan 100 paket nasi kotak dan air mineral kepada mereka yang seringkali luput dari sorotan media para pemulung, janda lanjut usia, pengamen jalanan, kuli bangunan, dan ojek online.

Kegiatan ini bukan hanya aksi sosial. Ia adalah pernyataan: bahwa wartawan memiliki tanggung jawab moral untuk memanusiakan manusia.
Jurnalisme yang Menyentuh Nurani
“Profesi wartawan tidak berhenti pada pelaporan fakta. Tugas kita adalah juga menghargai martabat manusia dan menyuarakan nilai-nilai kemanusiaan,” kata Eddie Karsito, Pendiri Yayasan Humaniora Rumah Kemanusiaan, kepada wartawan yang hadir dalam kegiatan tersebut.
Sebagai aktivis sosial dan volunteer, Eddie menekankan pentingnya kehadiran wartawan sebagai agen perubahan sosial. Dalam pandangannya, jurnalisme empati adalah mazhab yang menjadikan nurani sebagai kompas, bukan sekadar rating atau klik.
“Wartawan itu bisa menjadi pemimpin opini, bahkan guru bangsa. Tapi harus mulai dari kepedulian terhadap sesama,” tambahnya.
Aksi Kecil, Dampak Besar

Kelana Muda, Penasehat PJBW sekaligus wartawan senior, menyebut bahwa kegiatan seperti ini menjadi ruang untuk menumbuhkan kepedulian dan keterhubungan antar manusia.
“Kita tidak hanya memberi makan. Kita sedang menyalakan lilin kecil di hati mereka yang nyaris tak terlihat,” ujarnya sambil menyerahkan nasi kotak kepada seorang pengamen muda yang mengucap terima kasih sambil tertunduk.
Agus Santosa, Inisiator dan Koordinator PJBW, berharap program ini dapat meluas dan menjadi gerakan bersama di kalangan jurnalis.
“Banyak wartawan yang punya empati, tapi belum punya wadah. Melalui PJBW, kita ingin membuka ruang itu. Agar wartawan tidak hanya menulis penderitaan orang lain, tetapi juga terlibat dalam solusi,” jelas Agus.
Menjaga Martabat dalam Memberi
Salah satu momen menyentuh terjadi saat tim PJBW memberikan bantuan kepada Halimah, seorang janda renta berusia hampir 80 tahun. Wajahnya yang keriput berubah cerah saat menerima bantuan, bukan karena nilainya, tetapi karena cara pemberiannya — dengan senyum, sapa, dan penghargaan terhadap martabatnya.
“Kami diajarkan untuk bersedekah dengan ikhlas dan hormat. Agar mereka merasa dihargai, bukan dikasihani,” ujar Kelana Muda.
Membangun Empati sebagai Pilar Jurnalisme
Bagi Eddie Karsito, jurnalisme empati bukan konsep kosong. Ia adalah bentuk nyata dari keberpihakan terhadap kelompok marginal — mereka yang sering terpinggirkan dalam narasi besar pembangunan.
“Jurnalisme semacam ini mampu menggugah kesadaran publik, menggerakkan hati pembaca, dan pada akhirnya mendorong perubahan sosial,” tegasnya.
Menurutnya, tugas wartawan hari ini lebih berat dibanding masa lalu. Di tengah banjir informasi dan polarisasi opini, jurnalis harus mampu menghadirkan suara yang jernih, jujur, dan berempati.
Lebih dari Sekadar Berbagi
Program Jumat Berkah Wartawan (PJBW) bukan pertama kalinya digelar. Ini merupakan kali kedua kegiatan tersebut berkolaborasi dengan Yayasan Humaniora Rumah Kemanusiaan, yang sejak berdiri telah membina ratusan pemulung sebagian besar adalah janda lanjut usia, bahkan ada yang berusia hingga 97 tahun.
Yayasan ini juga menyantuni anak-anak yatim dan dhuafa non-panti, membantu anak-anak pemulung agar bisa terus bersekolah, lengkap dengan seragam, sepatu, dan alat tulis.
“Mereka bukan sekadar angka statistik kemiskinan. Mereka manusia yang perlu diperjuangkan martabatnya,” ujar Eddie, dengan nada suara penuh ketegasan.
Sedekah Paling Utama
Mengutip sabda Rasulullah SAW, Agus Santosa menyebut sedekah makanan sebagai sedekah paling utama.
“Makanan adalah kebutuhan dasar. Memberi makan orang lapar itu bukan hanya kebaikan, tapi juga energi yang menular,” katanya.
Dan energi itu terasa di lokasi. Bukan hanya dari mereka yang menerima, tetapi juga dari mereka yang memberi para wartawan yang hari itu bertugas tanpa kamera, tanpa byline, tanpa sorotan. Hanya dengan hati.
Jurnalisme yang Menggerakkan
Di era di mana media sering dituduh kehilangan empati dan terlalu sibuk mengejar sensasi, kisah para wartawan di balik Program Jumat Berkah Wartawan ini menjadi oase. Mereka membuktikan bahwa profesi ini masih punya nyawa, nurani, dan tujuan yang luhur.
Jurnalisme empati bukan tentang melembekkan fakta. Tapi tentang menghadirkan wajah manusia di balik angka dan berita dan itulah bentuk jurnalisme yang sesungguhnya: yang menggerakkan, bukan hanya mengabarkan.**




