Home / News / Rebana Biang: Warisan Irama Betawi dari Ciganjur yang Terus Berdentang

Rebana Biang: Warisan Irama Betawi dari Ciganjur yang Terus Berdentang

Jakarta — Budayantara.tv.Di tengah gemuruh modernisasi ibu kota, denting khas Rebana Biang masih menggema lirih namun mantap dari sudut-sudut Ciganjur, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Kesenian tradisional yang telah dikenal masyarakat Betawi sejak tahun 1825 ini bukan sekadar hiburan, melainkan warisan budaya yang menyimpan sejarah panjang, identitas lokal, dan semangat kebangsaan.

Pada Selasa sore yang hangat, 18 September 2025, tim Budayantara TV menyambangi kediaman maestro Rebana Biang, H. Abdurrahman atau yang akrab disapa Wan Rahman salah satu tokoh pelestari kesenian Rebana Biang Betawi. Meski penglihatannya mulai terganggu dimakan usia, semangat dan ketajaman memorinya dalam bercerita tetap mengalir deras, seperti irama rebana yang ia mainkan sejak muda.

Jejak Bapak Kumis dan Lahirnya Tradisi

Menurut penuturan Wan Rahman, Rebana Biang pertama kali masuk ke wilayah Betawi melalui seorang seniman asal Banten yang dikenal dengan nama Bapak Kumis. Beliaulah yang memperkenalkan alat musik ini pertama kali di Ciganjur.

Murid pertama Bapak Kumis di Ciganjur adalah H. Damong, yang kemudian menurunkan ilmunya kepada para penerus seperti H. Bitong, H. Amsir, H. Abdullah, dan generasi-generasi setelahnya. Wan Rahman adalah bagian dari generasi keempat yang melanjutkan tradisi ini.

“Rebana Biang bukan sekadar alat musik. Ini adalah pusaka warisan yang tidak boleh dilupakan,” ujar Wan Rahman.

Tak heran, grup musik yang ia dirikan dinamai Rebana Biang Pusaka, sebagai penegas bahwa alat musik yang telah berusia hampir dua abad ini merupakan peninggalan luhur yang harus terus dijaga dan dilestarikan.

Tiga Rebana, Satu Irama Kebudayaan

Berbeda dari jenis rebana lainnya, Rebana Biang hanya dimainkan dengan tiga buah rebana, masing-masing memiliki nama dan fungsi yang khas:

Gendung: rebana kecil berdiameter 30 cm, sebagai pembawa ritme dasar.

Kotek: rebana sedang dengan diameter 60 cm, bertugas menyeimbangkan irama.

Biang: rebana terbesar, dengan diameter mencapai 90 cm, menjadi pengatur dinamika dan pusat dentuman.

Tidak seperti rebana modern yang memiliki logam “kicrik” yang menimbulkan suara gemerincing, Rebana Biang menghasilkan dentuman murni tanpa suara tambahan. Hal ini membuat suaranya lebih dalam, mantap, dan khas.

Lebih dari Musik: Silat dan Tari Blenggo

Pementasan Rebana Biang tidak hanya menampilkan irama musik, tetapi juga diiringi dengan Tari Blenggo serta jurus-jurus silat Betawi yang atraktif. Seni bela diri ini dikelola secara serius oleh komunitas Persilatan Akal Takwa (AKTA) Ciganjur, yang dipimpin oleh para generasi muda seperti Naryo dan Rizki.

Naryo mengenang masa keemasan saat era Gubernur DKI Jakarta Wiyogo Atmodarminto di tahun 1980-an, di mana seni silat Betawi dan Tari Blenggo menjadi satu kesatuan dalam setiap pertunjukan.

“Gerak silat Akta kami menjadi bagian dalam penampilan Tari Blenggo. Itu perpaduan antara tubuh, musik, dan budaya,” kenangnya.

Ciganjur Heritage: Menjaga Identitas Lewat Warisan

H. Abd Rokib Kiman, pegiat budaya dan penggagas Ciganjur Heritage, menegaskan pentingnya menjaga eksistensi warisan budaya lokal.

“Warisan budaya di tanah Ciganjur ini jangan sampai hilang. Ciganjur Heritage berdiri untuk merawat, menjaga, dan menghidupkan kembali budaya-budaya Betawi sebagai bagian dari identitas budaya nasional,” ujarnya.

Melalui Yayasan Ciganjur Heritage, para seniman dan budayawan tidak hanya melakukan pelestarian, tetapi juga menyelenggarakan pendidikan budaya dan proses regenerasi, agar generasi muda bisa kembali mengenal dan mencintai akar budayanya sendiri.

Melestarikan Irama, Menjaga Jati Diri

Kini, Rebana Biang memang tidak sepopuler era 1950-an hingga 1980-an. Namun, berkat dedikasi tokoh Wan Rahman serta semangat para pemuda di persilatan AKTA Ciganjur, harapan untuk terus menghidupkan Rebana Biang masih terus menyala.

Di tengah hiruk-pikuk Jakarta yang serba cepat dan modern, dentuman Rebana Biang dari pelataran rumah di Ciganjur menjadi penanda bahwa akar budaya Betawi belum mati dan tak akan lekang oleh waktu.*”

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *