Blora, Jawa Tengah — Budayantara.tv Di tengah derasnya arus modernisasi yang menggulung budaya lokal, Ki Pasiran bersama cucunya Nyi Isnawati di Blora, Jawa Tengah, memilih jalan yang tidak biasa: melawan lupa. Mereka adalah Ki Pasiran dan Nyi Isnawati, penjaga budaya napas kehidupan Wayang Krucil dari sanggar seni Isnamukti, yang terletak di Dukuh Delok, Desa Pojokwatu, Kecamatan Sambong.
Di sebuah bangunan sederhana yang berbalut semangat dan cinta budaya, mereka memelihara warisan seni tradisi yang kini nyaris punah. Bukan demi popularitas atau keuntungan materi, tetapi karena keyakinan bahwa budaya adalah akar yang tak boleh dicabut, sekalipun zaman terus berubah.

Wayang Krucil: Warisan yang Terlupakan
Wayang Krucil atau yang juga dikenal dengan nama Wayang Klithik bukan sekadar pertunjukan boneka datar. Ia adalah artefak hidup yang memuat narasi sejarah, nilai-nilai moral, hingga kearifan lokal yang diwariskan secara turun-temurun. Terbuat dari kayu pipih setebal 2–3 cm, wayang ini memiliki bentuk yang lebih kaku dibanding wayang kulit. Hanya lengannya yang lentur karena terbuat dari kulit, memungkinkan ia “bernyawa” di tangan seorang dalang.
Berbeda dari wayang kulit yang umum dikenal dengan kisah Mahabharata atau Ramayana dan dipentaskan malam hari, Wayang Krucil justru tampil siang hari, dengan kisah-kisah lokal yang lebih membumi. Cerita-cerita sejarah kerajaan Nusantara hingga kisah dakwah tokoh-tokoh Islam seperti Amir Hamzah atau Umar Amir menjadi naskah utama pertunjukan.
“Wayang Krucil adalah media dakwah dan pendidikan. Lewat cerita-cerita ini, kami mengajarkan sejarah dan nilai kehidupan kepada masyarakat,” ujar Ki Pasiran, yang telah lebih dari tiga dekade menjadi dalang dan perajin wayang.

Dari Pangeran Pekik ke Dukuh Delok
Sejarah Wayang Krucil tak bisa dilepaskan dari nama Pangeran Pekik, bangsawan Surabaya yang diyakini pertama kali menciptakan bentuk awal wayang ini pada tahun 1571 Saka atau sekitar 1648 Masehi. Seni ini kemudian berkembang pesat di Jawa Timur, menyebar ke Ngawi, Magetan, Kediri, hingga ke Malang dan Pasuruan.
Namun, di Blora yang berbatasan langsung dengan wilayah budaya Jawa Timur wayang krucil menemukan tempatnya sendiri. Dulu, pada masa keemasannya di tahun 1960-an, pertunjukan wayang krucil bisa ditemukan hampir di setiap acara rakyat. Kini, jejaknya perlahan menghilang, tergantikan oleh hiburan instan yang lebih cepat dan ringkas.
“Kalau dulu anak-anak berebut nonton wayang. Sekarang, mereka lebih kenal karakter game daripada tokoh sejarah,” ujar Nyi Isnawati sambil menyusun tokoh wayang di rak kayu sanggar.

Bertahan dari Sunyi
Di Sanggar Seni Isnamukti, Ki Pasiran tak hanya melatih generasi muda memainkan wayang, tapi juga membuatnya sendiri. Dengan ketekunan seorang seniman dan kesabaran seorang guru, ia mengukir kayu, mewarnai tokoh, dan memberi nama. Setiap tokoh punya cerita. Setiap guratan punya makna.
“Wayang Krucil itu rapuh. Kayunya bisa patah kalau tidak hati-hati. Sama seperti budaya kita. Kalau tidak dijaga, akan hilang begitu saja,” katanya lirih.
Meski pertunjukan semakin jarang, Ki Pasiran dan Nyi Isnawati tetap melanjutkan tradisi ini. Mereka percaya bahwa menjaga warisan leluhur adalah bentuk ibadah. Dalam sunyi, mereka tetap menabuh gamelan, tetap menyuarakan suluk, tetap menyalakan lampu-lampu kecil di siang hari untuk pementasan yang hanya disaksikan segelintir orang.
Mengajar untuk Masa Depan
Salah satu misi besar Ki Pasiran adalah regenerasi. Ia membuka pelatihan bagi anak-anak muda, meski tak mudah. Banyak yang datang hanya sekali, lalu pergi karena merasa tak cocok. Namun ia tak putus asa. Baginya, satu anak yang bisa memahami dan mencintai Wayang Krucil lebih berharga daripada seribu penonton yang hanya menonton tanpa peduli.
“Kalau ada satu saja yang meneruskan, saya sudah merasa cukup,” katanya dengan senyum.Sabtu (20/9/2025).
Budaya yang Bertahan Karena Cinta Budaya
Di zaman ketika semua hal berlomba untuk menjadi cepat, instan, dan viral, Wayang Krucil tetap berdiri pelan, dengan irama yang tenang. Ia tak menuntut untuk ditonton, tapi menunggu untuk dipahami. Dan Ki Pasiran bersama Nyi Isnawati adalah jantung dari keteguhan itu.
Di Dukuh Delok, suara gamelan masih berbunyi, meski perlahan. Bayang-bayang wayang masih menari di balik layar putih. Di sana, sebuah kisah perjuangan mempertahankan budaya sedang berlangsung bukan di panggung megah, tapi di ruang kecil penuh semangat yang tak pernah padam.
Karena selama masih ada yang percaya, warisan tak akan pernah benar-benar punah.**




