Banyumas, – Budayantara.tv Ratusan pasang mata tertuju pada panggung seni di Pendapa Balai Desa Cihonje, Kecamatan Gumelar, Sabtu malam (2/8/2025). Dalam balutan semangat menyongsong HUT ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia, warga setempat menggelar Pentas Seni Kolaborasi bertajuk “Gumelar Mbudidaya sebuah perayaan budaya yang tak hanya memikat secara artistik, namun juga menghidupkan denyut ekonomi masyarakat desa.
Berbagai penampilan dari puisi, karawitan, guritan, hingga wayang kulit disuguhkan secara estetik dan menyentuh, memperlihatkan betapa kayanya tradisi lokal yang masih terawat.
Salah satu penampilan paling menyita perhatian adalah musikalisasi puisi “Sukacita Merdeka” oleh Jaringan Sastra Pinggir Kali (Jaspinka) yang dipimpin penyair kawakan, Eddy Pranata PNP. Aksi teatrikal yang dibalut puisi membakar semangat para penonton dan membawa suasana malam itu ke puncak emosional.
Tak ketinggalan, Wanto Tirta, yang dijuluki “Presiden Geguritan”, mengundang tawa dan refleksi lewat parikan dan guritan Banyumasan berjudul “Cathetan Kamardhikan”. Lalu, komunitas Blakdhen bersama Panca Putri SMA PGRI Gumelar menyuguhkan “karawitanisasi geguritan” yang kental dengan nuansa tradisional, lengkap dengan iringan gamelan yang menyejukkan jiwa.
Menariknya, acara ini tak melulu soal kesusastraan. Ada juga penampilan dari Simmo Noise Band yang dipimpin oleh Wiz Teguh Nugros and Friends, menambahkan warna kontemporer dalam kemasan budaya lokal. Penampilan karawitan bocah dari Siswa Ngesthi Budaya, hingga dalang cilik Julung Bagaskoro, menunjukkan betapa regenerasi seni tradisional terus tumbuh dengan kuat di tanah Gumelar.
Acara puncak ditutup dengan pementasan wayang kulit oleh tiga dalang muda berbakat: Ki Wahyu Pundhut Prasetyo, Ki Taufiq Hidayat Pujonagoro, dan Ki Danang Priadi, yang membawakan lakon “Wahyu Cakraningrat” sebuah cerita klasik yang sarat makna kepemimpinan dan perjuangan.
Budaya Hidup, Ekonomi Tumbuh
Camat Gumelar, Septian Muhranto, menyampaikan apresiasinya atas kreativitas dan semangat gotong royong masyarakat. Ia melihat “Gumelar Mbudidaya” sebagai potensi besar yang bukan hanya menjaga budaya tetap hidup, tapi juga memberi dampak nyata terhadap roda ekonomi lokal.
“Ini bisa jadi even tahunan yang mampu melestarikan budaya sekaligus mendongkrak ekonomi. Semoga terus berlanjut dan salam budaya,” ujarnya antusias.
Senada dengan itu, Jarot C. Setyoko dari Dewan Kesenian Kabupaten Banyumas, menilai kegiatan ini sebagai bukti nyata bahwa iklim kesenian di Banyumas terus tumbuh, bahkan dari akar rumput.
“Kita menyaksikan bagaimana seniman dan komunitas di desa-desa bisa secara swadaya ‘nguri-uri’ budaya tradisional, sekaligus berinovasi ke ranah modern,” katanya.
Kepala Desa Cihonje, Sarnoto, pun berharap agar semangat kolaborasi dan kebersamaan yang terbangun melalui jalur seni budaya ini bisa terus lestari.
“Desa kami memang di pinggiran, tapi para senimannya sudah menembus kancah nasional. Ini bukti bahwa desa punya daya, dan seni adalah jalannya,” tegasnya.
Gumelar Mbudidaya: Dari Pinggiran, Untuk Indonesia
Pentas seni ini bukan hanya panggung pertunjukan, melainkan juga panggung perlawanan—perlawanan terhadap lupa, terhadap tergerusnya budaya oleh zaman. Dari Gumelar, dari pinggiran, suara budaya menggema kuat, menyatu dalam sukacita merdeka yang hakiki.***