Ponorogo – Budayantara.tv Ada yang istimewa di Apel Akbar Hari Santri Nasional (HSN) 2025 di Alun-Alun Ponorogo, Rabu (22/10/2025). Pasalnya, tampil grup reog dengan konsep Islami binaan Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) PCNU Ponorogo.
Pertunjukan reog garapan Lesbumi itu berkekuatan 20 personel. Kendati termasuk versi kecil, namun tetap mengikuti format reog festival dengan dua dadak merak, bujangganong, penari jathil, dan barisan warok. Para penari jathil tampak mengenakan jilbab seragam berkelir hitam.
“Dari sisi busana, kami menjaga prinsip kesopanan dan nilai-nilai syariat yang wajib menutup aurat,” kata Ahmad Sauji, Ketua Lesbumi PCNU Ponorogo.
Menurut Mbah Jenggo –sapaan Ahmad Sauji–garapan pertunjukan reog itu menggambarkan perlawanan kaum santri terhadap penjajah yang sudah muncul jauh sebelum masa kemerdekaan.
“Pada masa perjuangan Sultan Agung, Pangeran Diponegoro, dan Geger Cilegon, sudah ada dukungan para santri,” terangnya.
Dengan durasi penampilan selama 20 menit, disimbolkan latihan bela diri di pesantren. Selain itu, pasukan berkuda maju ke medan perang sebagai lambang semangat juang santri menuju Resolusi Jihad yang merupakan seruan KH Hasyim Asy’ari—ulama pendiri Nahdlatul Ulama (NU)—pada 22 Oktober 1945.
“Menggambarkan perjuangan santri dalam kemasan pola tari Reog Ponorogo,” jelas Mbah Jenggo.
Dia mengungkapkan, para penari merupakan pelajar dari sejumlah lembaga pendidikan di bawah naungan Nahdlatul Ulama (NU). Sanggar Lesbumi yang selama ini aktif berada di SMK Wahid Hasyim dan SMP Ma’arif. Beberapa penampil berasal dari Grup Reog Ki Ageng Mirah yang ikut Festival Nasional Reog Ponorogo (FNRP) XXX beberapa waktu lalu.
“Ciri khas NU terasa dari lagu Yalal Wathon dengan iringan gamelan reog yang liriknya ciptaan KH Abdul Wahab Chasbullah,” ujarnya.
Meski masih mempertahankan format klasik, Lesbumi membuka peluang pengembangan aransemen gamelan reog. Karena itu, pihaknya setiap tahun membuka rekrutmen dan diklat bagi sanggar-sanggar binaan.
“Sebagai bagian dari upaya regenerasi pelaku seni di lingkungan Lesbumi Ponorogo. Baik seni reog, sastra, maupun teater,” ungkap Mbah Jenggo.
Rekrutmen dan diklat itu ditutup dengan pentas perdana pada Desember bertepatan dengan Haul Gus Dur. Seni dan budaya sejatinya memiliki makna mendalam bagi kalangan santri. Reog tidak hanya dipandang sebagai hiburan, tetapi juga sebagai media dakwah dan sarana menyampaikan pesan moral.
“Bagi kami, seni itu rasa dan budaya juga rasa. Santri memandang reog sebagai bagian dari budaya, bukan sekadar hiburan,” imbuh Mbah Jenggo.
Dia sempat mengenang sejarah Lesbumi Ponorogo yang pernah memiliki kiprah besar dalam kesenian Reog Ponorogo di bawah komando almarhum Mbah Mujab Thohir.
“Lesbumi Ponorogo sempat vakum sebelum akhirnya dihidupkan lagi beberapa tahun terakhir,” ucapnya.
“Intinya kami berusaha menjaga budaya tanpa meninggalkan nilai-nilai syariat Islam. Kalau terkait batasan gerakan, tata busana, atau hal-hal yang menyangkut syariat, kami selalu merujuk pada fatwa dari LBM (Lembaga Bahtsul Masail). Jadi semuanya tetap dalam koridor yang sesuai ajaran Islam,” pungkasnya.(bud)




