Tangerang,— Budayantara.Di sebuah sore yang hangat di wilayah Pinang, Tangerang,Rabu (10/9/2025). jagung rebus, singkong, dan segelas bir pletok menjadi saksi perbincangan yang mengalir penuh makna. Di tengah kudapan khas Betawi itu, komunitas pegiat sejarah dan budaya berkumpul dalam sebuah silaturahmi sederhana namun sarat nilai. Kami dari Budayantara merasa ini adalah momen emas ketika jejak sejarah dan warisan budaya disatukan oleh cerita, kenangan, dan cita-cita luhur.
Pertemuan ini mempertemukan kami dengan sosok istimewa Enni Suryani Djiran, keturunan langsung dari Kiai Tapa, seorang tokoh penting dalam sejarah perjuangan Banten. Hadir pula Kang Bayu, budayawan Tangerang; Japra, pegiat budaya Betawi; serta Abdul Azziz, pelaku seni budaya yang dikenal aktif dalam pelestarian kesenian Betawi. Bersama Satria komunitas Pegiat Sejarah Ciledug, pertemuan ini menjadi ruang reflektif akan pentingnya mengenang dan merawat warisan perjuangan para leluhur.
Kiai Tapa: Dari Petapa Hingga Penggerak Revolusi
Di tengah perbincangan, nama Kiai Tapa mencuat menjadi pusat perhatian. Enni Suryani berbagi bahwa kini ia tengah mengusulkan nama leluhurnya itu untuk diangkat sebagai Pahlawan Nasional — langkah yang dinilai sangat layak, mengingat jasa dan pengaruh besar Kiai Tapa dalam sejarah perlawanan terhadap VOC di Banten dan sekitarnya.

Namun, siapa sebenarnya Kiai Tapa?
Menurut sejumlah sumber sejarah, termasuk catatan dari sejarawan Jepang A. Ota (2008), Kiai Tapa adalah tokoh kompleks dengan latar yang tidak sepenuhnya tunggal. Sebagian menyebutnya sebagai seorang sufi dan mursyid tarekat yang menjalani tapa (bertapa) di Gunung Munara, wilayah Rumpin, Bogor. Sebagian lain, berdasarkan data lapangan dan laporan VOC, mengungkap bahwa sosok ini bukan sekadar petapa, melainkan tokoh revolusioner politik yang menyamar demi keselamatan dan pergerakan strategis.
Nama asli Kiai Tapa diyakini adalah Anus Ahat, seorang pemimpin pemberontakan yang berafiliasi dengan Pangeran Arif Gusti pada 1746. Setelah pemberontakan gagal dan dikejar pasukan VOC, ia melarikan diri ke Gunung Munara dan mengukuhkan diri sebagai tokoh spiritual yang kharismatik.
Namun di balik jubah pertapaannya, Kiai Tapa merancang sebuah revolusi.
Benturan Ideologi dan Perlawanan terhadap Penjajah
Salah satu fakta menarik yang diungkap dalam diskusi adalah bahwa Kiai Tapa memiliki pengaruh besar hingga ke lingkungan istana dan rakyat bawah. Dalam sebuah surat yang ia kirim kepada Sultan Banten dan Gubernur Jenderal Belanda di Batavia, Kiai Tapa secara tegas menuntut pengusiran VOC dari tanah Banten. Ia menyatakan bahwa tanah Batavia (Jakarta) merupakan warisan leluhur, bukan milik penjajah Eropa. Lebih jauh lagi, ia menegaskan bahwa umat Islam telah diperbudak oleh sistem kolonial Belanda.
Target utama pergerakan Kiai Tapa adalah pembebasan Batavia dan Banten dari cengkeraman VOC serta pengembalian hak-hak atas tanah dan kepemimpinan kepada pewaris sejati Nusantara. Sikap ini menunjukkan bahwa Kiai Tapa bukan sekadar tokoh spiritual, tetapi juga seorang nasionalis visioner jauh sebelum istilah itu dikenal.
Kharisma dan Militansi yang Menakutkan VOC
Kisah-kisah yang diceritakan Kang Bayu dan Japra menegaskan bahwa militansi pengikut Kiai Tapa sangatlah luar biasa. Seorang tentara VOC, Jan Frans du Chardien, melaporkan bahwa pasukan Kiai Tapa yang kebanyakan orang Sunda, memiliki semangat perang dan loyalitas yang tinggi. Mereka lebih memilih mati di medan tempur daripada menyerah kepada penjajah. Komandan VOC di Banten bahkan mencatat betapa terkejutnya mereka dengan kegigihan perlawanan ini.
Salah satu catatan menyebut bahwa Kiai Tapa tinggal di semacam istana sederhana, ditemani puluhan pelayan wanita dan dijaga ketat oleh para pengawal. Tidak sembarang orang bisa mendekat. Ia menjadi semacam “mesias lokal” pemimpin spiritual dan politik dalam satu sosok.
Warisan yang harus Diakui Secara Nasional
Saat ini, perjuangan Enni Suryani untuk mengangkat Kiai Tapa sebagai Pahlawan Nasional masih dalam proses. Ia mengumpulkan dokumen, testimoni, dan dukungan akademik agar sejarah Kiai Tapa bisa diangkat dari “pinggiran buku sejarah” menjadi narasi utama perjuangan bangsa.
“Kiai Tapa bukan hanya milik Banten, tapi milik bangsa Indonesia,” ujar Enni penuh semangat.
Kota Tangerang, Bukan Hanya Kota Satelit
Kang Bayu menambahkan dimensi yang menarik dalam diskusi sore itu. Menurutnya, Kota Tangerang bukan sekadar kota penyangga Jakarta. Kota ini menyimpan jejak sejarah panjang, dari jalur perdagangan, benteng pertahanan VOC, hingga basis-basis perlawanan rakyat lokal. Banyak situs sejarah di Tangerang yang belum mendapatkan perhatian serius dari pemerintah maupun masyarakat luas.
Japra menambahkan, “Kita harus menjaga cerita-cerita lokal ini. Jangan sampai hilang digilas zaman.”ujarnya.
Menjaga Nyala Api Sejarah
Pertemuan ini mungkin sederhana, namun maknanya sangat dalam. Ia menunjukkan betapa pentingnya ruang-ruang dialog antar generasi untuk menjaga api sejarah tetap menyala. Di tengah kemajuan zaman dan derasnya arus modernisasi, mengenang tokoh seperti Kiai Tapa adalah bagian dari upaya kita menghormati masa lalu agar kita tidak kehilangan arah di masa depan.
Silaturahmi budaya ini pun ditutup dengan harapan yang sama: agar sejarah tidak hanya menjadi catatan, tapi menjadi inspirasi.**