Jakarta –Budayantara.tv Menyingkap Jejak Wali Betawi: Mbah Lontar, Ahli Tasyawuf dan Tata Kota dari Mataram. Di balik gemerlap ibu kota, Jakarta menyimpan jejak-jejak spiritual yang nyaris terlupakan. Salah satunya adalah kisah agung Syekh Raden Muhammad, atau yang lebih dikenal sebagai Mbah Lontar seorang wali besar yang membawa cahaya Islam ke wilayah Betawi dan sekitarnya pada abad ke-15, jauh sebelum Jakarta menjadi pusat modernitas seperti sekarang.
Tabir sejarah membuka kisah leluhur ini. Mbah Lontar adalah seorang keturunan Raja Brawijaya V dari Majapahit, yang kemudian menjadi bagian dari gelombang penyebaran Islam di Nusantara. Beliau berasal dari Mataram, Kampung Bintoro (Demak), wilayah yang menjadi pusat kekuatan Islam awal di Jawa. Namun, jejak perjuangan Mbah Lontar tidak berhenti di sana.
Amanah dari Sunan Gunung Jati

Mbah Lontar adalah utusan wali dari Cirebon yang mendapat amanah langsung dari Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Tugas sucinya adalah mendampingi Sultan Maulana Hasanuddin di Banten, namun takdir menuntunnya untuk menetap dan menyebarkan ajaran Islam di Betawi tepatnya di kawasan Jagakarsa, Ciganjur, hingga Lenteng Agung yang kini berada di Jakarta Selatan.
Menurut H. Rokib bin Kiman, keturunan langsung Mbah Lontar sekaligus Pembina Yayasan Ciganjur Heritage, sosok Mbah Lontar bukan hanya dikenal sebagai tokoh spiritual, tetapi juga seorang cendekiawan yang luar biasa.
“Beliau bukan hanya ahli tasyawuf dan Al-Qur’an, tapi juga dikenal sebagai ahli tata kota. Itu sebabnya jejak beliau bukan hanya di masjid atau pesantren, tapi juga di tapak-tapak awal pembentukan peradaban Betawi,” ujar H. Rokib.Sabtu (6/9/2025).
Ziarah Soekarno dan Pengaruh Mbah Lontar di Era Kemerdekaan
Kedalaman spiritual Mbah Lontar tak lekang oleh zaman. Bahkan di era kemerdekaan, Presiden Soekarno dikenal sebagai sosok yang rutin melakukan tawasul dan ziarah ke makam Mbah Lontar, menunjukkan betapa kuatnya pengaruh spiritual beliau dalam membentuk fondasi kebangsaan.
Sebagaimana para wali lainnya, perjuangan Mbah Lontar tidak hanya menanamkan ajaran Islam, tapi juga nilai-nilai kemanusiaan, kebangsaan, dan persatuan. Di tengah masyarakat yang saat itu masih memeluk berbagai kepercayaan lokal, Mbah Lontar hadir dengan pendekatan damai, mengajak masyarakat mengenal tauhid, akhlak, dan peradaban Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Sanad Spiritual dan Jaringan Wali
Mbah Lontar tidak sendiri dalam perjuangan. Ia berada dalam jaringan besar para wali dan sahabat seperjalanan yang tersebar dari Banten, Cirebon, hingga Jakarta. Di antaranya:
Syekh Sona Wijayasakti
Syekh Soleh Gunung Santri (Cilegon)
Syekh Abdul Jalil dan Syekh Abdurahman (Kumpi Ciganjur)
Syekh Ahmad Waliyullah (adik Sunan Gunung Jati)
Syekh Jagaraksa (Jagakarsa)
Syekh Zakaria (Lenteng Agung)
Dalam silsilah keilmuan dan spiritual, beliau juga sejajar dengan tokoh-tokoh besar seperti Syekh Babullah di Palu, Syekh Rojak Al-Mawadah, hingga Nyai Ros Pandan Wangi dari Bambu Kramat. Jejak para wali ini membentuk rantai emas sanad dakwah yang kuat dan masih mengakar hingga kini.
Dari Makkah ke Betawi: Lintasan Ilmu dan Spiritualitas
Tak hanya berkiprah di tanah air, Syekh Raden Muhammad menuntut ilmu di Makkah, Madinah, dan Turki, menjadikannya bagian dari ulama internasional pada masanya. Penguasaannya terhadap ilmu Al-Qur’an, tata kota, dan tasyawuf menjadikan dakwahnya komprehensif menyentuh sisi spiritual, sosial, hingga kebudayaan masyarakat Betawi.
Wafat pada 17 Syawal, Mbah Lontar meninggalkan warisan yang tak ternilai – bukan hanya makam sebagai tempat ziarah, tapi sebuah peradaban Islam yang lembut, membumi, dan penuh hikmah.
Warisan yang Terlupakan
Ironisnya, di tengah pembangunan masif Jakarta, nama Mbah Lontar nyaris terlupakan. Padahal, beliau adalah arsitek awal spiritualitas Betawi. Melalui Yayasan Ciganjur Heritage dan upaya pelestarian sejarah oleh para keturunannya, kini mulai digalang kesadaran untuk menghidupkan kembali nilai, ajaran, dan keteladanan dari sang wali.
“Jangan kira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu telah mati. Mereka hidup di sisi Tuhan mereka, diberi rezeki,” demikian firman Allah dalam QS. Ali Imran: 169 – seolah menjadi pelita yang menerangi makam Mbah Lontar hingga hari ini.
Mbah Lontar bukan sekadar nama dalam silsilah spiritual. Ia adalah satu dari sekian banyak wali yang menanamkan akar Islam di tanah Jakarta. Jejak beliau, meski tertimbun oleh waktu, tetap bersinar dalam diam. Saatnya generasi muda mengenal, meneladani, dan meneruskan semangat dakwah, keilmuan, dan keberanian beliau dalam membela kebenaran, dengan cinta.
“Jakarta bukan hanya milik masa kini, tapi juga warisan para wali yang dahulu menanamkan cahaya Islam di jantung Nusantara.”**