Jakarta, – Budayantara.tv
Di tengah perhatian publik yang lebih sering tertuju pada sektor ekonomi dan politik tingkat tinggi, sidang lanjutan dugaan kasus korupsi di lingkungan Dinas Kebudayaan DKI Jakarta menghadirkan sebuah paradoks yang menyesakkan: di mana seharusnya nilai-nilai luhur budaya dilestarikan, justru praktik busuk korupsi tumbuh subur.
Dalam pantauan redaksi Budayantara.tv, sosok Jali Pitung, Ketua Umum Forum Aliansi Masyarakat Anti Korupsi (FORMASI), hadir kembali ke ruang publik setelah lama tidak terlihat, untuk memberikan pernyataan tegas: “Kita tetap mengawal kasus ini sampai tuntas. Budaya tidak boleh dikorupsi!”
Korupsi Budaya: Pengkhianatan yang Lebih Dalam dari Sekadar Anggaran
Dalam wawancara eksklusif yang dilakukan Budayantara.tv, didampingi oleh aktivis budaya R. Panca Nur.Selasa (2/9/2025).
FORMASI menggarisbawahi bahwa korupsi dalam sektor kebudayaan bukanlah sekadar persoalan hukum, tetapi juga merupakan bentuk pengkhianatan terhadap sejarah, identitas, dan masa depan bangsa.
“Korupsi di sektor budaya bukan hanya mengambil uang negara. Ia merampas akses para seniman, membunuh kreativitas generasi muda, dan mencemari warisan leluhur kita. Ini kejahatan yang berdampak multi-generasi,” ungkap Jali Pitung.
Menurutnya, birokrasi yang korup membuat dana hibah budaya dan program pelestarian hanya dinikmati oleh kelompok-kelompok eksklusif yang dekat dengan kekuasaan, sementara komunitas-komunitas akar rumput justru ditinggalkan.
Mendukung Penuh Asta Cita dan Arah Baru Pemerintahan Prabowo
FORMASI menyatakan dukungan penuh terhadap komitmen Presiden Prabowo Subianto, terutama terhadap cita ke-8 dalam Asta Cita: “Mewujudkan pemerintahan yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.”
“Kami percaya, dalam pemerintahan baru, praktik korupsi tidak lagi mendapat tempat. Bahkan di sektor budaya yang kerap terabaikan, pengawasan dan akuntabilitas harus diperkuat,” tambah Jali Pitung.
Langkah-langkah pembersihan birokrasi di sektor-sektor non-strategis seperti kebudayaan, menurut FORMASI, justru sangat strategis untuk membangun kembali kepercayaan publik dan integritas negara secara menyeluruh.
Koruptor Harus Diberi Hukuman Setimpal: Pembekuan Aset hingga Hukuman Mati
Dalam pernyataan yang berani, FORMASI juga menyuarakan dukungan terhadap penerapan hukuman yang lebih berat bagi pelaku korupsi, termasuk pembekuan aset dan bahkan hukuman mati dalam kasus-kasus besar dan sistemik.
“Sudah saatnya bangsa ini tegas. Korupsi bukan hanya merugikan negara secara materiil, tapi menghancurkan moralitas bangsa. Kami mendukung langkah-langkah luar biasa, termasuk pembekuan aset dan pidana mati, sebagai efek jera,” kata Jali.
Dukungan ini diperkuat oleh R. Panca Nur, pelaku budaya Betawi sekaligus aktivis FORMASI, yang menegaskan bahwa ketika budaya dikorupsi, yang rusak bukan hanya sistem, tetapi juga jati diri bangsa.
Integritas Budaya sebagai Aset Bangsa
Bagi para investor sosial dan pemangku kepentingan pembangunan berkelanjutan, kasus ini patut menjadi perhatian. Ketika korupsi merajalela di sektor budaya, maka social capital yang menjadi fondasi pembangunan nasional terancam rapuh. Kredibilitas program pelestarian budaya, penciptaan ekosistem kreatif, hingga diplomasi budaya internasional akan runtuh jika dikelola oleh aktor-aktor tidak berintegritas.
Ke depan, FORMASI menyerukan sinergi antara masyarakat sipil, media, akademisi, dan pelaku budaya untuk mendorong tata kelola budaya yang transparan dan partisipatif. Pengawasan berbasis komunitas dan audit sosial terhadap anggaran kebudayaan harus menjadi arus utama, bukan pengecualian.
Jangan Biarkan Warisan Bangsa Dijual Murah oleh Koruptor
Kasus dugaan korupsi di Dinas Kebudayaan DKI Jakarta adalah pengingat pahit bahwa bahkan di ruang-ruang yang seharusnya sakral, integritas bisa tergadaikan. Namun selama masih ada suara seperti Jali Pitung dan Panca Nur, masih ada harapan bahwa budaya akan kembali menjadi pilar moral dan nilai bangsa, bukan komoditas yang diperdagangkan demi kepentingan sesaat.
“Budaya adalah akar bangsa. Jika akarnya busuk karena korupsi, maka tidak ada pohon peradaban yang bisa tumbuh,” tutup R. Panca Nur.**