Home / News / Saat Warisan Dibakar Amarah: Cagar Budaya Bukan Sekadar Bangunan

Saat Warisan Dibakar Amarah: Cagar Budaya Bukan Sekadar Bangunan

Oleh: Masdjo Arifin (Budayantara)

Jakarta,- Budayantara.tv Suara demonstrasi yang bergemuruh di berbagai kota di Indonesia belakangan ini tidak hanya menjadi panggung kebebasan berpendapat, tetapi juga menyisakan luka yang dalam terutama bagi warisan sejarah bangsa. Di tengah riuhnya aksi protes, bangunan-bangunan bersejarah yang seharusnya menjadi saksi bisu perjalanan negeri, justru menjadi korban amuk massa.

Salah satu yang paling menyentak hati adalah terbakarnya Gedung Grahadi di Surabaya. Bagi warga kota Pahlawan, Grahadi bukan sekadar gedung tua, melainkan penanda perjalanan panjang sejarah kota. Dalam arsip bertanggal 1787, bangunan ini telah tercatat dalam peta kota Surabaya, berdiri kokoh sejak era kekuasaan VOC di bawah pengawasan Dirk Van Hogendorp.

Grahadi bukan sekadar bangunan, ia adalah narasi. Ia menjadi tempat berlangsungnya banyak peristiwa penting sejak zaman kolonial, masa revolusi, hingga era kemerdekaan. Bahkan pada awal kemerdekaan, Gedung Grahadi menjadi ruang strategis masyarakat berkumpul dalam mendukung program-program Presiden Soekarno. Kini, abu dan arang menggantikan marwahnya.

Tak hanya Surabaya yang berduka. Di Kediri, Museum Bagawanta Bhari juga tak luput dari kerusakan. Koleksi-koleksi yang selama ini menjadi penjaga kisah masa lalu rusak dan raib. Museum yang semestinya menjadi ruang belajar sejarah bagi generasi mendatang, kini menjadi saksi bisu kekerasan yang tidak mengenal batas nilai.

Di Bandung, Gedung Cagar Budaya di Jalan Diponegoro No. 20 bangunan bergaya indische empire dari tahun 1920-an turut menjadi korban. Gedung ini dulunya rumah dinas Wakil Gubernur Jawa Barat, dan menjadi bagian penting dari jejak arsitektur kolonial yang khas. Kini, wajah sejarah itu juga ternoda.

Kita harus sadar, cagar budaya bukan milik segelintir orang atau institusi. Mereka milik kita semua. Mereka adalah ingatan kolektif, warisan yang menyatukan identitas kita sebagai bangsa. Saat warisan itu dibakar amarah, kita bukan hanya kehilangan bangunan kita kehilangan jati diri.

Dari Budayantara, saya memandang kejadian ini sebagai keresahan bersama. Demonstrasi adalah bagian dari demokrasi. Tapi saat demonstrasi berubah menjadi anarki, dan anarki merusak warisan budaya, maka kita tengah mengoyak lembaran sejarah kita sendiri.

Sudah saatnya kita kembali bertanya:
Apakah perubahan harus dibayar dengan kehilangan masa lalu?
Dan jika jawaban kita adalah tidak, maka mari kita jaga, rawat, dan lindungi cagar budaya karena tanpa sejarah, masa depan hanyalah kehampaan.**

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *