Cimahi, – Budayantara.tv Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga (Disbudparpora) Kota Cimahi mengungkapkan bahwa sebanyak 50 objek di wilayahnya diduga merupakan cagar budaya. Namun, penetapan status tersebut tidak serta-merta dilakukan, melainkan harus melalui proses kajian dan penilaian mendalam oleh tim ahli.
“Objek-objek tersebut memiliki karakteristik arsitektur yang khas, seperti gaya art deco, bangunan peninggalan kolonial Belanda, hingga makam dan patung feng. Bahkan ada juga manuskrip aksara Sunda kuno yang menjadi perhatian,” ujar Kepala Disbudparpora Cimahi, Achmad Nuryana, dalam keterangan pers, Senin (18/8/2025).
Hingga saat ini, Kota Cimahi telah memiliki 12 cagar budaya yang resmi ditetapkan melalui Surat Keputusan Wali Kota. Penetapan ini merupakan hasil dari kerja konsisten Disbudparpora dalam menelusuri jejak sejarah kota yang terbagi ke dalam tiga kecamatan ini.
Achmad menyebut, ke depan pihaknya akan terus menelusuri objek-objek lain yang berpotensi ditetapkan sebagai cagar budaya. “Kita tidak bisa sembarangan menetapkan. Harus berdasarkan Undang-Undang Cagar Budaya dan kajian para ahli,” tegasnya.
Aksara Sunda Kuno, Warisan Tak Benda yang Mulai Dihidupkan Kembali
Selain melestarikan bangunan fisik, Disbudparpora juga fokus pada pelestarian budaya nonbenda. Salah satunya adalah aksara Sunda kuno yang mulai dikenalkan kembali kepada generasi muda melalui berbagai program edukasi.
“Kota Cimahi memiliki tokoh yang ahli membaca, menulis, bahkan mengajarkan aksara Sunda kuno. Ini aset yang sangat berharga,” ungkap Achmad. Disbudparpora bersama Dewan Kebudayaan Kota Cimahi (DKKC) telah mengadakan pelatihan dan sosialisasi untuk memperkenalkan kembali aksara tersebut.
Penggunaan aksara Sunda juga mulai diterapkan di ruang publik, seperti di kawasan Eco Wisata Cimahi (EWIC) yang menggunakan penulisan aksara Sunda oleh tokoh budaya Abah Yudistira. Ke depan, Pemkot Cimahi berencana menggunakan aksara Sunda untuk nama-nama jalan sebagai bagian dari pelestarian identitas lokal.
Namun, tantangan terbesar datang dari rendahnya minat generasi muda terhadap warisan budaya tersebut.
“Kami berusaha menjembatani ketertarikan mereka dengan cara yang lebih interaktif dan modern. Karena kalau bukan kita yang melestarikan, siapa lagi?” pungkas Achmad.**