Jakarta,- Budayantara.tv Tamalaki adalah sebutan untuk ksatria dalam suku Tolaki, sebuah suku yang mendiami wilayah Sulawesi Tenggara, khususnya di sekitar Konawe & Mekongga. Gelar ini diberikan kepada laki-laki suku Tolaki yang menunjukkan keberanian dan keperkasaan, terutama di medan perang.
Secara Etimologi dapat diartikan sebagai berikut yaitu terdiri dari dua suku kata ‘TAMA’ dan ‘LAKI’. TAMA dalam kosa kata bahasa Tolaki artinya adalah Lelaki, Jantan, Perkasa, Kuat, Tangguh, sedangkan kata LAKI dapat diartikan sebagai seorang pemberani. Jadi Tamalaki adalah Seorang Laki – laki yang sangat tangguh dan dapat diandalkan dengan keberanian yang dimilikinya untuk melindungi segenap suku bangsa Tolaki.
Secara Terminologi kata TAMALAKI adalah seorang Ksatria dari suku Tolaki yang berfungsi sebagai Pasukan Kerajaan dan Hulubalang perang kerajaan Tolaki.
Jadi istilah ‘Tamalaki’ adalah istilah yang berlaku umum bagi kaum adam dari kalangan masyarakat Tolaki yang siap mengabdikan dirinya kepada kerajaan sekaligus bersedia menjalankan perintah pemimpinnya untuk menjadi Benteng hidup dan alat (pondondo wonua) dalam bertahan maupun menyerang musuh kerajaan.
Tolaki sendiri adalah salah satu suku bangsa terbesar yang mendiami jazirah sulawesi tenggara dimana pada masa lalu pernah memiliki dua kerajaan besar yaitu kerajaan ‘Mekongga dan Konawe’
Dalam Tatanan masyarakat Tolaki.
Tamalaki adalah salah satu kasta Ksatria yang memiliki keistimewaan tersendiri dimana seseorang yang bergelar Tamalaki memiliki tanggungjawab besar dipundaknya. Gelar Tamalaki dalam sejarahnya akan diberikan pada seorang laki – laki dewasa apabila telah mampu menjalankan tugasnya dengan baik dan teruji ketika diterjunkan kedalam arena peperangan. Bila ditinjau dari aspek Historis, Tamalaki adalah gelar yang diberikan kepada seorang laki – laki dewasa apabila di medan perang mampu membunuh musuhnya serta memenggal kepalanya (monga’e) lalu menjadikan tengkorak musuhnya sebagai wadah untuk meminum air. Hal ini sekaligus menjadi penanda bagi seorang bisa dikatakan telah Dewasa dan sempurna sebagai seorang ksatria apabila telah mampu menjalankan tugas yang diberikan oleh kerajaan. Tamalaki adalah simbol kekokohan Kerajaan Tolaki dalam mempertahankan eksistensi kerajaan serta menegakkan kedaulatan orang Tolaki.
Secara Filosofis, Tamalaki, sebagai pasukan yang umumnya terdiri dari para lelaki dewasa merupakan simbol yang bermaka kejantanan (Polanggaia), keperwiraan (Kapita), keberanian (moseka), kesetiaan/loyalitas tanpa batas dan penjaga marwah kerajaan/kemokolean Konawe dan Kebokeoan Mekongga. Hal ini dapat dilihat dari beberapa simbol yang digunakan, seperti ikat kepala warna merah (Kasaeda) dan dilengkapi dengan senjata, taawu. Dari sisi ideologis, Tamalaki merupakan suatu gelar yang istimewa dalam mengabdikan dirinya secara totalitas terhadap pemimpinnya serta mampu melindungi adat yang disimbolkan dengan ‘KALO SARA’.
Dalam Jiwa para Tamalaki selalu memegang Prinsip sesuai semboyannya “Labirai mate ano amba metuka bunggu”. Jika diterjemahkan bermakna “Lebih baik mati berkalang tanah dari pada harus mundur walau hanya sejengkal”.
“Sepak Terjang Tamalaki”
Selain sebagai gelar umum bagi setiap laki – laki dalam suku Tolaki, seorang Tamalaki juga bisa mendapatkan gelar gelar istimewa lainnya yang tentu saja menggambarkan level ke-Tamalakiannya yang tinggi. Di Konawe, adalah seorang ‘Wutu’ahu’ atau yang di gelar dengan “Anakia Ndamalaki” (era Kemokolean Wekoila) yang sangat tersohor dimasanya sebagai panglima perang kerajaan Konawe yang pertama – tama menjadi cikal bakal penamaan gelar Tamalaki di tubuh masyarakat Tolaki (Adjemain Soroambo, M.Sos).
Anakia Ndamalaki juga mendapat julukan lain yaitu ‘Pakandeate’ atau Pakandre ati’ dimana gelar tersebut diberikan oleh bangsawan ditanah bugis atas kemampuannya dimedan perang ketika menghabisi musuhnya dengan cara memakan organ tubuh berupa Hati.
Makam Anakia Ndamalaki saat ini telah menjadi salah satu situs sejarah di konawe, hal ini ditandai dengan dijadikannya sebagai Cagar Budaya Nasional makam Pakande’ate yang terletak di Lerehoma Kabupaten Konawe. Di Mekongga, adalah seorang raja Mekongga yang bergelar “Sangia Nibandera” dikisahkan pernah memimpin pasukan Tamalaki terbaiknya dari Mekongga untuk membantu kedatuan Luwu mempertahankan kedaulatan wilayahnya dari serangan musuh yang ingin menaklukan kedatuan Luwu sekitar abad ke 17 (Nur Saenab Lowa).
Makam Sangia Nibandera pun saat ini telah masuk kedalam cagar budaya nasional.
Berbagai Kisah para Tamalaki Wonua terus berlanjut sejak dulu hingga di era moderen kini, hal ini dapat dilihat dari banyaknya pemuda – pemuda Tolaki yang saat ini tergabung dalam berbagai organisasi kemasyarakatan (ormas) mencoba bangkit dari tidur panjangnya dengan kesadaran penuh untuk menjaga eksistensi adat dan budaya Tolaki.
Kandungan material yang terdiri dari biji besi yang kaya dan berkualitas nikel dan baja inilah yang kemudian menjadi bahan baku pembuatan senjata Tamalaki (AN Lapae).
Seiring dengan masuknya Islam di bumi Anoa Sulawesi Tenggara beberapa abad silam, maka tradisi – tradisi yang bertentangan dengan ajaran Islam mulai ditinggalkan oleh orang Tolaki secara perlahan hingga akhirnya tidak lagi ditemukan kebiasaan memenggal kepala tersebut.
Kiprah Tamalaki dari masa ke masa terus mewarnai perjalanan suku bangsa Tolaki sebagai suatu entitas. Tamalaki selalu mengambil peran penting dalam melindungi suku bangsa Tolaki dari berbagai pihak yang ingin merongrong kedaulatan Tolaki. Di era perlawanan penjajah asing hingga menjelang kemerdekaan NKRI, para Tamalaki melakukan perlawanan dalam mengusir penjajah dari Nusantara. Baik di Mekongga maupun di Konawe, para Tamalaki tampil kedepan menjadi benteng bagi masyarakat Tolaki. Salah satunya adalah kisah heroik para Tamalaki bersama rakyat dalam menghadang konvoi NICA BELANDA pada bulan November 1945 di Kolaka yang di Pimpin Kapita Konggoasa.
Sampai saat ini para pemuda pelestari budaya suku tolaki masih eksis melestarikan budaya tolaki , salah satunya Irfan Konggoasa dengan organisasi masyarakat adat PKT ( Panglima Kapita Tamalaki ) yang di bentuknya.